Senin, 30 Maret 2009

jihat dalam perspektif al-ibriz

Pandangan Ayat-Ayat Jihad
KH Bisri Musthofa Dalam al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz

• Latar belakang sosial-intelektual Bisri Musthofa

KH Bisri Musthofa, terlahir dengan nama Mashadi, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada 16/24 Februari 1977. Kiai Bisri memulai pergumulan intelektualnya dengan menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren Kajen selama tiga hari, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah.
Kiai Bisri merupakan sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya pada Pemilu pertama 1955, Kiai Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal saat kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama (PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI dan Masyumi.
Kemampuan dan kepiawaian panggung ini diakui oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia kabinet Ir. Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menilainya sebagai orator ulung yang mampu menguraikan persoalan yang sebenarnya rumit, sulit dan pelik, menjadi begitu gamblang dan mudah dicerna para pendengarnya. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Yang sepele menjadi amat penting. Yang berat menjadi ringan. Namun kritiknya tetap tajam.

• Tokoh Tiga Zaman
KH Bisri Musthofa adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman.
Pertama, pada zaman penjajahan, Kiai Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang Rembang. Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai Bisri diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu itu Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai Bisri juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU.
Kedua, pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir. Soekarno. Bahkan Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto.
Ketiga, pada zaman pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar sebagai calon No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk Dapil (daerah pemilihan) Jawa Tengah. Dan Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri, karena meninggal seminggu sebelum masa kampanye.
Kepergian Kiai Bisri untuk selama-lamanya ini, dianggap sebagai musibah berat bagi PPP. Karena selama duduk sebagai anggota DPR PPP, Kiai Bisri mampu memberi bobot bagi perolehan suara PPP. “Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang bisa berganti. Tapi seorang Bisri Musthofa? Tidak mudah dicari penggantinya!”, demikian kata Kiai Saifuddin menggambarkan rasa kehilangannya.
• Dari Kasingan ke Kasingan
Semula, Mashadi (nama kecil Kiai Bisri) tidak berminat sama sekali belajar di pesantren, tapi toh akhirnya nyantri juga di sana. Mashadi pertama kali mengenal pesantren usai tamat sekolah Ongko Loro, karena kakaknya, H Zuhdi, pernah mengirimnya ke pesantren asuhan Kiai Chasbullah di Kajen untuk mengaji pasanan. Di sana Mashadi tidak kerasan dan baru tiga hari pulang kembali ke rumah. Begitu juga ketika disuruh mengaji di pesantren Kiai Kholil di Kasingan (kelak menjadi mertuanya), tetangga desanya di Rembang, Mashadi kembali ogah-ogahan.
Apa yang menyebabkan Mashadi selalu berusaha menghindari dunia pesantren? Dalam pandangan Mashadi, pelajaran di pesantren sangatlah sulit dan rumit, terutama pelajaran nahwu dan sharaf. Karenanya, Mashadi malas belajar di pesantren. Selain itu, Kiai Kholil, Pengasuh Pesantren Kasingan, dalam pikiran Mashadi waktu itu, terkesan angker, galak dan menakutkan. Bagi Mashadi, lebih baik tidak usah mengaji di pesantren dari pada nanti terkena pukulan kiai.
Keinginan Mashadi sendiri saat itu bukanlah mengaji di pesantren, malainkan bekerja mencari uang. Apalagi lingkungan keluarga dan masyarakat di daerahnya mayoritas pedagang. Kakaknya, H Zuhdi, membuka toko cukup besar. Kakak iparnya, H Mukhtar adalah pedagang batik terkenal di pasar Rembang, pasar Sulang, dan pasar Kaliori. Namun demikian, setelah beberapa waktu berhenti dalam kebimbangan, Mashadi akhirnya kembali lagi ke pesantren Kasingan. Kali ini dengan jurus baru. Untuk penyesuaian diri, Mashadi sementara waktu tidak ikut mengaji langsung pada Kiai Kholil. Bukan takut pukulannya, tapi untuk belajar terlebih dahulu secara diam-diam pada santri senior bernama Suja’i, yang tak lain ipar Kiai Kholil sendiri. Tak tanggung-tanggung, Mashadi langsung mengaji kitab Alfiyyah Ibn Malik. Mashadi berhasil dan mendapat perhatian istimewa dari kiai dan teman-teman santrinya. Mashadi selalu duduk di depan dan paling pintar dalam setiap majlis pengajian nahw. Sejak itulah, kehadiran Mashadi mulai diperhitungkan. Bahkan teman-temannya, mempercayai Mashadi sebagai pengulang pelajaran kiai dan lurah pondok.
Pada Juni 1935, Kiai Kholil kemudian menikahkan Mashadi yang masih berusia 20 tahun, dengan puterinya, Ma’rufah bint Kholil, yang baru berumur 10 tahun. Sebagai menantu kiai, Mashadi dituntut untuk menjadi pengajar. Kenyataan ini membuat Mashadi bingung, karena banyak santri yang minta dibacakan kitab ini atau kitab anu. Padahal Mashadi sendiri belum pernah tahu wujudnya, apalagi mengajinya.
Prinsip belajar candhak kulak (belajar sambil mengajar) pun dilakoninya. Mashadi belajar, atau lebih tepatnya musyawarah membaca kitab di Karanggeneng pada Kiai Kamil. Hasil musyawarah itu dibacakan besok paginya di depan para santri di Kasingan. Karenanya, jadwal mengaji di Kasingan sangat tergantung pada jadwal di Karanggeneng. Kalau Karanggeneng libur misalnya, pengajian di Kasingan pun otomatis turut libur. Itu berarti Mashadi kehabisan bahan.
Lama kelamaan, Mashadi tidak betah dengan model candhak kulak ini. Mashadi pun berkeinginan meninggalkan Rembang. Yang penting bagi Mashadi adalah pergi dari ‘bumi panas’ Ponpes Kasingan. Karenanya, saat musim haji tiba, Mashadi nekat pergi ke Makkah dengan uang tabungan dari hasil jual kitab Bijuraimi Iqna’. Menjelang rombongan pulang ke Tanah Air, Mashadi teringat pengalamannya sebagai menantu kiai dengan pengetahuan pas-pasan. Mashadipun memutuskan tidak turut pulang dan tiketnya dijual.
Bersama dua temannya, Suyuti Kholil dan Zuhdi dari Tuban, Mashadi bermukim di Makkah untuk memperdalam pengetahuan keagamaan. Selama setahun di sana, Mashadi berguru kepada Kiai Bakir, Syeikh Umah Hamdan al-Maghribi, Syeikh al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Masysyath, Sayid ‘Alawi, dan Kiai Abdul Muhaimin. Dan pada musim haji berikutnya, Mashadi baru kembali ke Tanah Air.

• Kiai-Penulis yang Produktif
Sejarah hidup Mashadi, selanjutnya disebut Kiai Bisri, memang menarik. Bukan saja karena Kiai Bisri seorang ulama, politisi, pengarang, dan sastrawan, tapi juga kehidupannya yang tidak seperti kebanyakan kiai di Jawa. Kiai Bisri dinilai agak ‘aneh’ dalam beberapa hal. Misal pandangannya tentang keikhlasan. Menurutnya, keikhlasan tidak lahir dengan sendirinya, melainkan lahir bersamaan dengan kondisi ketika seseorang merasa lega atas hasil ikhtiarnya. Faktor kondisi inilah yang sering dilupakan dalam menuntut keikhlasan. Misalnya, seseorang dipaksa ikhlas seusai bekerja, tanpa imbalan jelas. Ini, menurutnya, tidak lebih dari pemerkosaan terhadap muatan ikhlas.
Mengapa seseorang lamban dalam berprestasi? Sebabnya antara lain, karena ia merasa malu menghitung ikhtiarnya dalam ukuran ekonomi. Dalam hal ini, Kiai Bisri tidak segan-segan memberi muatan ikhlas dengan perhitungan yang jelas secara ekonomis. Kiai Bisri ingin berkarya secara professional dan dari sinilah lahir dorongan untuk terus berkarya. “Menulis dengan niat mencari nafkah untuk kehidupan keluarga, sangat wajar,” katanya pada suatu kesempatan kepada KH. Ali Ma’sum dari Krapyak. “Pak Bisri, Sampean pergi-pergi melulu. Kapan sampean sempat ngajar santri?” protes Kiai Ali Ma’sum suatu saat. “Meskipun saya tidak mengajar, sesungguhnya para santri mengaji pada saya, termasuk santri Sampean,” jawab Kiai Bisri enteng. Buku-buku karangan Kiai Bisri memang banyak dibaca para santri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Pesantren Krapyak Yogyakarta. Kiai Bisri juga relative jarang di rumah untuk mengajar para santri di pesantrennya. Sebagai seorang muballigh terkemuka, Kiai Bisri sering berdakwah keluar daerah, karena tidak tega menolak permintaan masyarakat yang mengundangnya berdakwah. Untuk itulah Kiai Bisri punya target ideal dengan menulis karya-karyanya. Selain mendapat akhirat, ekonomi juga didapatkannya. Mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan pendidikan anak, bukan hanya tanggung jawab, tapi keharusan yang berpahala.
Karya Kiai Bisri tidak kurang dari 25 buah judul, baik, terjemahan, nadm/syi’r, maupun esai. Dan karyanya, dalam banyak hal, ditujukan pada dua obyek. Pertama, kelompok santri di ponpes. Karya-karya ini berupa Ilmu Bahasa Arab, terutama nahw, sharaf, manthiq, dan balaghah. Kedua, masyarakat umum di pedesaan. Karya-karya untuk mereka lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis terkait ‘ubudiyyah.

• Seputar al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz
Karya tafsir Kiai Bisri Musthofa ini berjudul lengkap al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz dan lebih dikenal dengan al-Ibriz. Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian, kandungannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun ilmiah.
Oleh penulisnya (Bisri Musthofa), seperti dinyatakan dalam kata pengantar, karya tafsir ini sengaja ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Karya tafsir ini ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna, hatta oleh orang awam sekalipun. Dan sebagai penguatan argumentasi di dalam karya ini, Kiai Bisri banyak ‘mencomot’ hasil pemikiran ulama-ulama sebelumnya.
Kiai Bisri menuturkan, “Dene bahan-bahanipun tarjamah tafsir ingkang kawulo segahaken puniko, mboten sanes inggih naming metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah, kados Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, lan sak panunggilanipun”. (Adapun bahan-bahan terjemah tafsir yang kami suguhkan ini, tak lain hanya memetik dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan sebagainya). Dari tuturan ini, dua point penting bisa diambil: karya ini disebutnya sebagai tarjamah-tafsir dan bahan-bahannya diambil dari tafsir-tafsir mu’tabar karya para ulama terdahulu.
Namun demikian, bukan berarti pemikiran Kiai Bisri tenggelam sama sekali di telan gelombang pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Ungkapan itu tak lain sebagai penggambaran atau tepatnya pengakuan, bahwa tafsirnya lebih banyak menukil pendapat ulama-ulama sebelumnya ketimbang pendapat pribadinya. Hanya saja sayangnya, Kiai Bisri jarang sekali menyebutkan sumber-sumber asal penafsirannya, misalnya ada kitab ini atau anu. Ketiadaan penyebutan sumber ini, pada akhirnya akan memberi kesan bahwa kitab al-Ibriz memang betul-betul murni pemikiran sang penulis dan bukan hasil ‘comotan’ dari kitab-kitab tafsir sebelumnya. Jarangnya penyebutan sumber ini, praktis menyisakan kesulitan tersendiri bagi pemakalah untuk melacak warna pemikiran yang bertaburan dalam tafsir al-Ibriz ini. Pemikiran al-Suyuti, al-Khazin, atau al-Baidhawi kah yang paling dominan mewarnai al-Ibriz, semuanya masih remang-remang.

• Metodologi Penulisan al-Ibriz
Dalam memetakan metodologi penulisan al-Ibriz yang ditetapkan KH Bisri Musthofa, ini sudah jelas dalam halaman awal tafsir tersebut. Kiai Bisri menegaskan, metode penulisan al-Ibriz adalah sebagai berikut: “Bentuk utawi wangunipun dipun atur kados ing ngandhap punika:
a. Al-qur’an dipun serat ting tengah mawi ma’na gandul
b. Terjemahanipun tafsir kaserat ing pinggir………
c. Katerangan-katerangan sanes mawi tunda: tanbih, faidah, muhimmah lan sak penunggalipun”.
(Adapun bentuknya adalah sebagai barikut:
a. Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa.
b. Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir.
c. Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-lain.)
Apa yang ditegaskan Kiai Bisri ini, bisa menjadi langkah awal bagi kita untuk melakukan penelusuran lebih jauh dan dalam terhadap al-Ibriz ini, utamanya berkaitan dengan sistematika penulisannya.
Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam tafsir al-Ibriz. Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh. Ada semacam hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa (termasuk juga bahasa Sunda), yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. Bahasa Jawa yang digunakan oleh Kiai Bisri berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus).
Bisri terkadang juga menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif-kah, juga tak disebutkannya. Penyebutan semacam ini jelas akan menimbulkan pelbagai pertanyaan, utamanya terkait status Hadis itu. Selain menampilkan Hadis Nabi, Kiai Bisri terkadang juga menampilkan pendapat para shahabat. Misalnya, pendapat Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah, terkait penafsiran Qs al-Isra’ ayat 111. Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alif-laam-miim, Kiai Bisri sebenarnya juga menggunakan interpretasi ala Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya.
Kemudian metode apakah yang ditempuh Kiai Bisri dalam menyusun karya tafsirnya ini? Berdasarkan analisis yang pemakalah lakukan secara ‘ijmalistis’ alias global dan tidak mendetail ini, pemakalah cencerung menyimpulkan metodenya adalah tahlili. Cocok juga disebut sebagai al-tahlili al-wajiz, seperti halnya Tafsir al-Jalalain. Dan tak salah juga disebut ijmali. Sedang manhaj-nya tak lain adalah al-ma’tsur.
• Penafsiran ayat-ayat jihad dalam al-Ibriz
Terma jihad dan derivatnya digunakan sebanyak 35 kali dalam al-qur’an . jihad secara leksikal berma’na usaha memberdayakan serta mengerahkan kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan satu tujuan.
Perihal penafsiran Kiai Bisri dalam karya tafsirnya ini, contoh penafsirannya perihal masalah ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad dalam al-qur’an. Misalnya terkait Qs. An-nisa’ ayat 77, KH Bisri menulis, “nalika kanjeng rosul durung hijrah segolongan sahabat seng podo menderita sebab dianiaya podo matur marang kanjeng rosul menkene: menawi panjenengan izini,tiang-tiang ingkang podo dholim marang kawulo,bade kulo perangi. Kanjeng rosul mangsuli dawuh : kuffu aidiyakum (ojo-ojo merangi) nanging bareng wus di fardhuake perang sebagian soko wong-wong mau, podo jireh(ora wani) pada wedi marang manungso kaya wedine marang Allah, malah luweh nemen wedine. Duh gusti kawula sedoyo kok panjenengan wajibaken perang. mbok inggih kawula panjenengan paringi enak mundur rumiyen. Kanjeng rasul kedawuhan ngendika : kaenekan ono ing dunya iku namung sitik nikmat neng akherat iku luweh bagus lan langgeng . sirakabeh ora di aniyaya senajan naming sak lugut. ( ketika rasulullah belum hijrah ke Madinah segolongan sahabat yangt teraniaya mendatangi beliau, kemudian bekata: apabila kami diizini orang-orang yang mendholimi kami, akan kami perangi. Rasulullahpun kemudian berkata : kuffu aidiyakum ( jangan-jangan kalian perangi) namun setelah perang itu di wajibkan sebagian dari orang-orang tadi, kemudian takut untuk berperang seperti takutnya mereka pada Allah, malahan lebih takut. Ya Tuhan kenapa kami semua Engkau wajibkan berperang adakah Engkau beri kenikmatan bagi kami semua terlebih dahulu. Rasulpun berkata : Kenikmatan di dunia ini hanyalah sementara adapun kenikmatan di akherat itu lebih bagus dan kekal selamanya. Kalian tidak akan di aniyaya sedikitpun disana.)
Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada periode awal atau sebelum rasul hijrah memerangi kaum yang dholim itu tidak dilakukan dengan pedang atau dengan cara berperang. Memberantas kaum kafir dengan cara peperangan baru dilakukan setelah Rasul hijrah hal tersebut juga bisa tergambar dalam tafsiran Bisri Musthofa pada Qs. At-Taubah ayat 73 Bisri Musthofa menulis: “ Hai nabi! Perangana wong-wong kafir iku kanti pedang, lan perangana wong-wong munafik iku kanti dawuh-dawuh lan hujjah! Keraso sira(nabi muhammad) terhadap wong-wong kafir lan wong-wong munafik panggonane wong kafir karo wong munafik iku jahannam ala-alane panggonan bali iyo neraka jahannam itu. (hai nabi! Perangilah orang-orang kafir itu dengan pedang, dan perangilah borang-orang munafikitu dengan ucapan-ucapan atau hujjah! Bersikap keraslah kamu (muhammad) terhadap orang kafir dan orang munafik tempat bagi orang-orang kafir dan munafik itu neraka jahannam, dan merupakan tempat yang paling jelek.”
Dari paparan-paparan diatas mengenai jihad Bisri Musthofa membedakan perihal bagaimana kita harus memerangi kaum non muslim antara kafir dan munafik ada perbedaan cara untuk memeranginya. Menurut Bisri kita harus memerangi kaum kafir dengan pedang atau peperangan kemudian memerangi kaum munafik dengan ucapan-ucapan atau hujjah.
Itulah beberapa kasus penafsiran dalam al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz karya Kiai Bisri Musthofa,. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.[]











DAFTAR PUSTAKA :
• Musthofa Bisri.1959. Al- Ibriz li ma’rifati tafsiri qur’ani al-aziz. Kudus: Menara Kudus.
• Qattan Manna .2007,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
• Yazdi Misbah.2006. perlukah jihad, meluruskan paham tentang jihad dan terorisme.Jakarta:Al- Huda.

Tidak ada komentar:

M0NGGO_MONGGO.....

tulisan yang mungkin sedang anda baca ini hanya segelumit sekedar celotehan, akan kebimbangan seorang yang masih meragukan kebanaran di dunia yang fana ini...