Senin, 30 Maret 2009

Pandangan Ulama’ Tentang Hukum Ilmu Kalam

Pada zaman klasik para sahabat secara tidak sengaja melahirkan suatu disiplin ilmu yang kemudian dinamakan ilmu kalam. Jika dilihat hal itu adalah implikasi dari perebutan kekuasaan (khalifah) oleh ‘Ali bin Abi Thalib dengan para sahabatnya diantaranya Mu’awiyah, Zubeir, Thalhah beserta istrinya nabi’Aisyah. Awal dari kemunculannya ialah dengan mengemukanya pertanyaan yang sangat menjurus ke dalam ranah teologi. Dengan demikian, disiplin ilmu ini lahir dipicu oleh situasi politik pada saat itu.
Teologi atau Ilmu kalam ialah sebuah disiplin ilmu yang melandasi pergerakan keilmuan dan keimanan orang muslim dalam menjalankan hidupnya. Menurut Ibn Khaldun (1332-1402) teologi Islam itu ialah bertolak dari rukun iman yang harus dipercayai oleh setiap muslim agar memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat. Rukun iman yang utama ini perlu dibuktikan secara logis.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tauhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis. Ada juga sebagian yang mengatakan bahwa ilmu kalam atau bisa juga disebut ilmu tauhid adalah ilmu yang secara teori lahir pada masa al- Makmun yang membahas tentang ke-Esaan dan kemahakuasaan Tuhan dengan menggunakan logika bahwa semua yang ada di dunia ini adalah sebagai bukti keberadaan-Nya. Tauhid, selain membahas tentang ke-Esaan Tuhan juga membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Baik itu berupa sifat-sifat-Nya, kehendak-Nya, utusan-utusan-Nya, hari kiamat, pembalasan Tuhan, taqdir-Nya dll.
Kelompok yang pertama kali berbicara tentang (tauhid) sifat, surga, neraka, pembalasan Tuhan dalah Khawarij yang awalnya menyikapi pertentangan politik mengenai perebutan khalifah antara sahabat Ali dan sahabat Mu’awiyah yang pada akhirnya merembet pada masalah akidah. Yang dari sinilah kemudian banyak bermunculan aliran-aliran (firqoh-firqoh/ sekte) yang berbeda pendapat mengenai hal-hal tersebut di atas, sehingga ada yang disebut Khawarij, Syiah, Mu’tazilah, Ahlussunah, Murji’ah dll, yang kesemuanya itu memperdebatkan tentang ke-Esaan Tuhan dan semua yang berhubungan dengan Tuhan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari. Karena dengan konsep kasb-nya Asy’ari bisa menengahi pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh) . Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu Asy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:

Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan) .

Namun agaknya Ilmu Kalam juga menuai kecaman dari Imam Abu Hanifah hal ini tergambar ketika beliau berada di kota Bashrah dan beliau tinggal di dekat pengajian seorang ulama’ yang bernama Hammad bin Abu Sulaiman, kemudian ada seorang wanita yang menghampiri beliau ,kemudian wanita tersebut berkata kepada beliau: Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?. Pada saat itu beliau tidak tahu apa yang harus beliau jawab.

Kemudian beliau menyarankan agar wanita itu datang ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: "Lelaki itu dapat menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima', dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi,maka ia halal untuk dinikahi.
Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada beliau dan memberitahukan jawaban Hammad tadi. Akhirnya beliau berkesimpulan, "saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad".
Beliau berkata lagi: "Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalan untuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka". Beliau juga pernah ditanya seseorang, "Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?. Beliau menjawab, 'itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid'ah".
Bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, juga banyak menuai kecaman oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi). Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).
Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah. Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai "fithrah yang diturunkan" (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.
Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.

tasawuf

Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.

Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.

Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman rohani serta membuat agama itu lembut. Seperti dikatakan Ibn Taymiyyah, "Syari'ah Taurat didominasi oleh ketegaran, dan Syari'ah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanyaitu."


Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa tasawuf memungkinkan untuk dipisahkan dari keislaman seorang muslim karena pada hakekatnya tasawuf berangkat dari berbagai macan agama dan pemikiran. Kemudian banyak juga terjadi perdebatan mengenai hukum bertasawuf itu sendiri sebagian ulama’ ada yang membolehkannya dengan dalih apabila mempelajari semua hal yang akan memperbaiki dan memperbagus lahiriyah menjadi wajib, maka demikian juga halnya mempelajari semua ilmu yang akan memperbaiki dan memperbagus batiniyah manusia. sebagian lagi justru malah mengharamkan dengan alasan bahwa dahulu di zaman nabi tasawuf itu tidak ada, jadi mereka menganggap tasawuf sebagai bid’ah.

Dan bagi dunia modern seperti sekarang ini, seperti dalam buku From Samarkand to Stornoway : Living Islam, Akbar S. Ahmad melukiskan, betapa dengan kekuatan tasawwuf itu, Islam mampu bertahan di negara-negara yang dianeksasi oleh Rusia yang komunis itu. Di bawah tekanan yang demikian hebat, antara lain orang yang ketahuan membaca Al Quran maupun melakukan shalat langsung masuk penjara, namun, dengan semangat dan ajaran tasawwuf, Islam mampu bertahan dalam tahun-tahun yang penuh penderitaan itu. Maka ketika negara-negara di Asia Tengah itu menemukan kemerdekaannya, wajah Islam segera menyembul kepermukaan. Seperti cendawan di musim hujan. seperti diakui oleh Martin Van Bruninessen dalam wawancaranya dengan majalah Amanah, kans tasawwuf untuk mengajukan dirinya kepada masyarakat modern amat besar. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, tasawwuf akan mampu menembus dan menundukkan Barat. Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Seyyed Hossein Nasr mengatakan, tasawwuf adalah inti kekuatan Islam. Ia adalah jantungnya Islam. Tasawwuflah yang dengan menjanjikkan dapat memberikan alternatif kepada masyarakat modern di Barat. Dan Rene Guenon, seorang sarjana Prancis yang kemudian mengganti namanya menjadi Syeikh Abdul Wahid Yahya, telah menggunakan kekuatan tasawwuf itu untuk menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia. Hingga gereja harus mengeluarkan keputusannya untuk melarang masyarakat membaca buku-bukunya. Tentu saja itu dilakukan gereja karena melihat pengaruh yang begitu besar dari buku-bukunya itu .

Keragaman corak tasawuf terkadang juga sering membingungkan, karena banyaknya perbedaan dalam banyak hal seperti cara ritual, cara berdekat diri dengan Tuhan dan lainya maka untuk menanggapi masalah itu kita harus memahami betul apa maksud dari corak perbedaan corak tersebut. Wallahu a’lam

tanggapan artikel Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai Doktrin Aqidah Islamiah

1.Sekilas tentang Asy’ari.
Abu al-Hasan bin Isma'il al-Asy'ari, adalah seorang tokoh pemikir muslim pendiri paham Asy'ari. Al-Asy'ari lahir di Basra, pada tahun 260 H./ 873 M. dan wafat pada tahun 324 H / 935 M Namun sebagian besar kehidupannya beliau habiskan di Baghdad. Beliau adalah salah satu keluarga dari Abu Musa Al- Asy’ari. Asy'ari sempat berguru pada guru Mu'tazilah terkenal, yaitu al-Jubba'i. Beliau hidup sekitar satu abad setelah Imam al-Syafi'i (wafat pada 204 H./819 M.), atau setengah abad setelah al-Bukhari (wafat pada 256 H./870 M.) dan hidup beberapa belas tahun sezaman dengan pembukuan hadits yang terakhir dari tokoh yang enam, yaitu al-Tirmidzi (wafat pada 279 H./892 M.). Dengan kata lain, al-Asy'ari tampil pada saat-saat konsolidasi paham Sunnah di bidang hukum atau fiqh, dengan pembukuan hadits yang menjadi bagian mutlaknya, telah mendekati penyelesaian. Namun pada tahun 912 beliau mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah. Dan penampilan al-Asy'ari membuat lengkap sudah konsolidasi paham Sunnah itu, yaitu dengan penalaran ortodoksnya di bidang keimanan atau 'aqidah. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi, juga karena Islam di Indonesia beraliran Sunni, sehingga tidak menganut aqidah Syi'ah atau Mu'tazilah. Kemudian juga karena Islam di Indonesia bermazhab Syafi'i dan seperti di mana-mana, kaum Syafi'i kebanyakan menganut 'aqidah Asy'ari. Ini berbeda dengan kaum Sunni bermazhab Hanafi (di Asia Daratan) yang kebanyakan menganut 'aqidah Maturidi, dan dari kaum Sunni bermazhab Hanbali (di Arabia) yang tidak menganut Asy'ari maupun Maturidi, melainkan mempunyai aliran sendiri khas Hanbali. Pembela paling tegas paham Sunnah (lengkapnya, Ahl Sunnah wa al-Jama'ah -- baca: "Ahlusunnah waljama'ah") di negeri kita, yaitu Nahdlatul 'Ulama', dalam muktamarnya di Situbondo akhir 1984 yang lalu merumuskan dan menegaskan bahwa paham Sunnah ialah paham yang dalam 'aqidah menganut al-Asy'ari atau al-Maturidi.
2. Kelebihan dan Kekurangan Faham Asy’ari dalam aqidah islamiah
Paham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional, yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah dan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. Hal ini menjadikan faham tersebut membingungkan. Dan juga mempunyai banyak kekurangan dan kelebihan tentunya. Yaitu:

A. Kelebihan faham Asy’ari
• faham Asy’ari lebih setia kepada sumber-sumber Islam sendiri seperti Kitab Allah dan Sunnah Nabi daripada penalaran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf. Meskipun secara sebenarnya tetap dalam lingkaran Islam, namun, dalam pengembangan argumen-argumen bagi paham yang mereka bangun, mereka sangat banyak menggunakan bahan-bahan falsafah Yunani
• Perkembangan paham Asy'ari menjadi standar paham Ortodoks atau Sunni dalam 'aqidah sangat berkembang dengan pesat. Ini terutama sejak tampilnya Imam al-Ghazali sekitar dua abad setelah al-Asy'ari, yang dengan kekuatan argumennya yang luar biasa, bisa menyedot perhatian banyak orang.
• Keunggulan sistem Asy'ari atas lainnya ialah segi metodologinya, yang dapat diringkaskan sebagai jalan tengah antara berbagai ekstremitas.
Maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan hal itu ada pada para Failasuf), melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder
• Ilmu Kalam seperti yang dipelopori oleh al-Asy'ari dan dikembangkan oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan Islam, yaitu Yahudi dan Kristen, sebegitu rupa. Sehingga banyak para pemikir Yahudi sendiri memandang bahwa agama Yahudi seperti yang ada sekarang ini adalah agama Yahudi yang dalam bidang teologi telah mengalami "pengislaman", seperti tercermin dalam pembahasan buku Austryn Wolfson, Repercussion of Kalam in Jewish Philosophy ("Pengaruh Kalam dalam Falsafah Yabudi").

B. Kelemahan faham Asy’ari
Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang paham Asy'ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy'ari, maupun dari dalam pandangan para pemikir lainnya. Dan kelemahan itu diantaranya:
• Asy'ari cenderung bersikap pasrah kepada nasib (fatalisme). tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya
• Dengan melakukan kasb seperti telah di ketahui pada faham asy”ri, hal tersebut tidak akan berpengaruh apapun dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
• Konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya.

Dari uraian-uraian diatas kita bisa mengetahui berbagai polemic-polemik permasalahan yang muncul pada tubuh Asy’ariah dalam doktrin aqidah islamiah. Di satu sisi karena pangaruh Al Ghozali dengan paparan argumenya yang logis, Asy’ariah bisa berkembang dengan begitu pesat, di sisi lain Asy’ariah seakan mambodohi masyarakat dengan konsep kasb nya yang sulit untuk dimengerti dan malah cenderung membingungkan banyak orang. Malah di sebutkan dalam kitab Jawharat al-Tawhid,

Wa 'indana li al-'abd-i kasb-un kullifa
Wa lam yakun mu'atstsir-an fa 'l-ta'rifa

Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb,
Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh
Jadi, intinya manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya.

jihat dalam perspektif al-ibriz

Pandangan Ayat-Ayat Jihad
KH Bisri Musthofa Dalam al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz

• Latar belakang sosial-intelektual Bisri Musthofa

KH Bisri Musthofa, terlahir dengan nama Mashadi, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada 16/24 Februari 1977. Kiai Bisri memulai pergumulan intelektualnya dengan menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren Kajen selama tiga hari, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah.
Kiai Bisri merupakan sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya pada Pemilu pertama 1955, Kiai Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal saat kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama (PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI dan Masyumi.
Kemampuan dan kepiawaian panggung ini diakui oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia kabinet Ir. Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menilainya sebagai orator ulung yang mampu menguraikan persoalan yang sebenarnya rumit, sulit dan pelik, menjadi begitu gamblang dan mudah dicerna para pendengarnya. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Yang sepele menjadi amat penting. Yang berat menjadi ringan. Namun kritiknya tetap tajam.

• Tokoh Tiga Zaman
KH Bisri Musthofa adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman.
Pertama, pada zaman penjajahan, Kiai Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang Rembang. Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai Bisri diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu itu Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai Bisri juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU.
Kedua, pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir. Soekarno. Bahkan Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto.
Ketiga, pada zaman pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar sebagai calon No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk Dapil (daerah pemilihan) Jawa Tengah. Dan Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri, karena meninggal seminggu sebelum masa kampanye.
Kepergian Kiai Bisri untuk selama-lamanya ini, dianggap sebagai musibah berat bagi PPP. Karena selama duduk sebagai anggota DPR PPP, Kiai Bisri mampu memberi bobot bagi perolehan suara PPP. “Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang bisa berganti. Tapi seorang Bisri Musthofa? Tidak mudah dicari penggantinya!”, demikian kata Kiai Saifuddin menggambarkan rasa kehilangannya.
• Dari Kasingan ke Kasingan
Semula, Mashadi (nama kecil Kiai Bisri) tidak berminat sama sekali belajar di pesantren, tapi toh akhirnya nyantri juga di sana. Mashadi pertama kali mengenal pesantren usai tamat sekolah Ongko Loro, karena kakaknya, H Zuhdi, pernah mengirimnya ke pesantren asuhan Kiai Chasbullah di Kajen untuk mengaji pasanan. Di sana Mashadi tidak kerasan dan baru tiga hari pulang kembali ke rumah. Begitu juga ketika disuruh mengaji di pesantren Kiai Kholil di Kasingan (kelak menjadi mertuanya), tetangga desanya di Rembang, Mashadi kembali ogah-ogahan.
Apa yang menyebabkan Mashadi selalu berusaha menghindari dunia pesantren? Dalam pandangan Mashadi, pelajaran di pesantren sangatlah sulit dan rumit, terutama pelajaran nahwu dan sharaf. Karenanya, Mashadi malas belajar di pesantren. Selain itu, Kiai Kholil, Pengasuh Pesantren Kasingan, dalam pikiran Mashadi waktu itu, terkesan angker, galak dan menakutkan. Bagi Mashadi, lebih baik tidak usah mengaji di pesantren dari pada nanti terkena pukulan kiai.
Keinginan Mashadi sendiri saat itu bukanlah mengaji di pesantren, malainkan bekerja mencari uang. Apalagi lingkungan keluarga dan masyarakat di daerahnya mayoritas pedagang. Kakaknya, H Zuhdi, membuka toko cukup besar. Kakak iparnya, H Mukhtar adalah pedagang batik terkenal di pasar Rembang, pasar Sulang, dan pasar Kaliori. Namun demikian, setelah beberapa waktu berhenti dalam kebimbangan, Mashadi akhirnya kembali lagi ke pesantren Kasingan. Kali ini dengan jurus baru. Untuk penyesuaian diri, Mashadi sementara waktu tidak ikut mengaji langsung pada Kiai Kholil. Bukan takut pukulannya, tapi untuk belajar terlebih dahulu secara diam-diam pada santri senior bernama Suja’i, yang tak lain ipar Kiai Kholil sendiri. Tak tanggung-tanggung, Mashadi langsung mengaji kitab Alfiyyah Ibn Malik. Mashadi berhasil dan mendapat perhatian istimewa dari kiai dan teman-teman santrinya. Mashadi selalu duduk di depan dan paling pintar dalam setiap majlis pengajian nahw. Sejak itulah, kehadiran Mashadi mulai diperhitungkan. Bahkan teman-temannya, mempercayai Mashadi sebagai pengulang pelajaran kiai dan lurah pondok.
Pada Juni 1935, Kiai Kholil kemudian menikahkan Mashadi yang masih berusia 20 tahun, dengan puterinya, Ma’rufah bint Kholil, yang baru berumur 10 tahun. Sebagai menantu kiai, Mashadi dituntut untuk menjadi pengajar. Kenyataan ini membuat Mashadi bingung, karena banyak santri yang minta dibacakan kitab ini atau kitab anu. Padahal Mashadi sendiri belum pernah tahu wujudnya, apalagi mengajinya.
Prinsip belajar candhak kulak (belajar sambil mengajar) pun dilakoninya. Mashadi belajar, atau lebih tepatnya musyawarah membaca kitab di Karanggeneng pada Kiai Kamil. Hasil musyawarah itu dibacakan besok paginya di depan para santri di Kasingan. Karenanya, jadwal mengaji di Kasingan sangat tergantung pada jadwal di Karanggeneng. Kalau Karanggeneng libur misalnya, pengajian di Kasingan pun otomatis turut libur. Itu berarti Mashadi kehabisan bahan.
Lama kelamaan, Mashadi tidak betah dengan model candhak kulak ini. Mashadi pun berkeinginan meninggalkan Rembang. Yang penting bagi Mashadi adalah pergi dari ‘bumi panas’ Ponpes Kasingan. Karenanya, saat musim haji tiba, Mashadi nekat pergi ke Makkah dengan uang tabungan dari hasil jual kitab Bijuraimi Iqna’. Menjelang rombongan pulang ke Tanah Air, Mashadi teringat pengalamannya sebagai menantu kiai dengan pengetahuan pas-pasan. Mashadipun memutuskan tidak turut pulang dan tiketnya dijual.
Bersama dua temannya, Suyuti Kholil dan Zuhdi dari Tuban, Mashadi bermukim di Makkah untuk memperdalam pengetahuan keagamaan. Selama setahun di sana, Mashadi berguru kepada Kiai Bakir, Syeikh Umah Hamdan al-Maghribi, Syeikh al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Masysyath, Sayid ‘Alawi, dan Kiai Abdul Muhaimin. Dan pada musim haji berikutnya, Mashadi baru kembali ke Tanah Air.

• Kiai-Penulis yang Produktif
Sejarah hidup Mashadi, selanjutnya disebut Kiai Bisri, memang menarik. Bukan saja karena Kiai Bisri seorang ulama, politisi, pengarang, dan sastrawan, tapi juga kehidupannya yang tidak seperti kebanyakan kiai di Jawa. Kiai Bisri dinilai agak ‘aneh’ dalam beberapa hal. Misal pandangannya tentang keikhlasan. Menurutnya, keikhlasan tidak lahir dengan sendirinya, melainkan lahir bersamaan dengan kondisi ketika seseorang merasa lega atas hasil ikhtiarnya. Faktor kondisi inilah yang sering dilupakan dalam menuntut keikhlasan. Misalnya, seseorang dipaksa ikhlas seusai bekerja, tanpa imbalan jelas. Ini, menurutnya, tidak lebih dari pemerkosaan terhadap muatan ikhlas.
Mengapa seseorang lamban dalam berprestasi? Sebabnya antara lain, karena ia merasa malu menghitung ikhtiarnya dalam ukuran ekonomi. Dalam hal ini, Kiai Bisri tidak segan-segan memberi muatan ikhlas dengan perhitungan yang jelas secara ekonomis. Kiai Bisri ingin berkarya secara professional dan dari sinilah lahir dorongan untuk terus berkarya. “Menulis dengan niat mencari nafkah untuk kehidupan keluarga, sangat wajar,” katanya pada suatu kesempatan kepada KH. Ali Ma’sum dari Krapyak. “Pak Bisri, Sampean pergi-pergi melulu. Kapan sampean sempat ngajar santri?” protes Kiai Ali Ma’sum suatu saat. “Meskipun saya tidak mengajar, sesungguhnya para santri mengaji pada saya, termasuk santri Sampean,” jawab Kiai Bisri enteng. Buku-buku karangan Kiai Bisri memang banyak dibaca para santri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Pesantren Krapyak Yogyakarta. Kiai Bisri juga relative jarang di rumah untuk mengajar para santri di pesantrennya. Sebagai seorang muballigh terkemuka, Kiai Bisri sering berdakwah keluar daerah, karena tidak tega menolak permintaan masyarakat yang mengundangnya berdakwah. Untuk itulah Kiai Bisri punya target ideal dengan menulis karya-karyanya. Selain mendapat akhirat, ekonomi juga didapatkannya. Mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan pendidikan anak, bukan hanya tanggung jawab, tapi keharusan yang berpahala.
Karya Kiai Bisri tidak kurang dari 25 buah judul, baik, terjemahan, nadm/syi’r, maupun esai. Dan karyanya, dalam banyak hal, ditujukan pada dua obyek. Pertama, kelompok santri di ponpes. Karya-karya ini berupa Ilmu Bahasa Arab, terutama nahw, sharaf, manthiq, dan balaghah. Kedua, masyarakat umum di pedesaan. Karya-karya untuk mereka lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis terkait ‘ubudiyyah.

• Seputar al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz
Karya tafsir Kiai Bisri Musthofa ini berjudul lengkap al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz dan lebih dikenal dengan al-Ibriz. Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian, kandungannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun ilmiah.
Oleh penulisnya (Bisri Musthofa), seperti dinyatakan dalam kata pengantar, karya tafsir ini sengaja ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Karya tafsir ini ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna, hatta oleh orang awam sekalipun. Dan sebagai penguatan argumentasi di dalam karya ini, Kiai Bisri banyak ‘mencomot’ hasil pemikiran ulama-ulama sebelumnya.
Kiai Bisri menuturkan, “Dene bahan-bahanipun tarjamah tafsir ingkang kawulo segahaken puniko, mboten sanes inggih naming metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah, kados Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, lan sak panunggilanipun”. (Adapun bahan-bahan terjemah tafsir yang kami suguhkan ini, tak lain hanya memetik dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan sebagainya). Dari tuturan ini, dua point penting bisa diambil: karya ini disebutnya sebagai tarjamah-tafsir dan bahan-bahannya diambil dari tafsir-tafsir mu’tabar karya para ulama terdahulu.
Namun demikian, bukan berarti pemikiran Kiai Bisri tenggelam sama sekali di telan gelombang pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Ungkapan itu tak lain sebagai penggambaran atau tepatnya pengakuan, bahwa tafsirnya lebih banyak menukil pendapat ulama-ulama sebelumnya ketimbang pendapat pribadinya. Hanya saja sayangnya, Kiai Bisri jarang sekali menyebutkan sumber-sumber asal penafsirannya, misalnya ada kitab ini atau anu. Ketiadaan penyebutan sumber ini, pada akhirnya akan memberi kesan bahwa kitab al-Ibriz memang betul-betul murni pemikiran sang penulis dan bukan hasil ‘comotan’ dari kitab-kitab tafsir sebelumnya. Jarangnya penyebutan sumber ini, praktis menyisakan kesulitan tersendiri bagi pemakalah untuk melacak warna pemikiran yang bertaburan dalam tafsir al-Ibriz ini. Pemikiran al-Suyuti, al-Khazin, atau al-Baidhawi kah yang paling dominan mewarnai al-Ibriz, semuanya masih remang-remang.

• Metodologi Penulisan al-Ibriz
Dalam memetakan metodologi penulisan al-Ibriz yang ditetapkan KH Bisri Musthofa, ini sudah jelas dalam halaman awal tafsir tersebut. Kiai Bisri menegaskan, metode penulisan al-Ibriz adalah sebagai berikut: “Bentuk utawi wangunipun dipun atur kados ing ngandhap punika:
a. Al-qur’an dipun serat ting tengah mawi ma’na gandul
b. Terjemahanipun tafsir kaserat ing pinggir………
c. Katerangan-katerangan sanes mawi tunda: tanbih, faidah, muhimmah lan sak penunggalipun”.
(Adapun bentuknya adalah sebagai barikut:
a. Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa.
b. Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir.
c. Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-lain.)
Apa yang ditegaskan Kiai Bisri ini, bisa menjadi langkah awal bagi kita untuk melakukan penelusuran lebih jauh dan dalam terhadap al-Ibriz ini, utamanya berkaitan dengan sistematika penulisannya.
Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam tafsir al-Ibriz. Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh. Ada semacam hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa (termasuk juga bahasa Sunda), yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. Bahasa Jawa yang digunakan oleh Kiai Bisri berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus).
Bisri terkadang juga menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif-kah, juga tak disebutkannya. Penyebutan semacam ini jelas akan menimbulkan pelbagai pertanyaan, utamanya terkait status Hadis itu. Selain menampilkan Hadis Nabi, Kiai Bisri terkadang juga menampilkan pendapat para shahabat. Misalnya, pendapat Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah, terkait penafsiran Qs al-Isra’ ayat 111. Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alif-laam-miim, Kiai Bisri sebenarnya juga menggunakan interpretasi ala Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya.
Kemudian metode apakah yang ditempuh Kiai Bisri dalam menyusun karya tafsirnya ini? Berdasarkan analisis yang pemakalah lakukan secara ‘ijmalistis’ alias global dan tidak mendetail ini, pemakalah cencerung menyimpulkan metodenya adalah tahlili. Cocok juga disebut sebagai al-tahlili al-wajiz, seperti halnya Tafsir al-Jalalain. Dan tak salah juga disebut ijmali. Sedang manhaj-nya tak lain adalah al-ma’tsur.
• Penafsiran ayat-ayat jihad dalam al-Ibriz
Terma jihad dan derivatnya digunakan sebanyak 35 kali dalam al-qur’an . jihad secara leksikal berma’na usaha memberdayakan serta mengerahkan kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan satu tujuan.
Perihal penafsiran Kiai Bisri dalam karya tafsirnya ini, contoh penafsirannya perihal masalah ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad dalam al-qur’an. Misalnya terkait Qs. An-nisa’ ayat 77, KH Bisri menulis, “nalika kanjeng rosul durung hijrah segolongan sahabat seng podo menderita sebab dianiaya podo matur marang kanjeng rosul menkene: menawi panjenengan izini,tiang-tiang ingkang podo dholim marang kawulo,bade kulo perangi. Kanjeng rosul mangsuli dawuh : kuffu aidiyakum (ojo-ojo merangi) nanging bareng wus di fardhuake perang sebagian soko wong-wong mau, podo jireh(ora wani) pada wedi marang manungso kaya wedine marang Allah, malah luweh nemen wedine. Duh gusti kawula sedoyo kok panjenengan wajibaken perang. mbok inggih kawula panjenengan paringi enak mundur rumiyen. Kanjeng rasul kedawuhan ngendika : kaenekan ono ing dunya iku namung sitik nikmat neng akherat iku luweh bagus lan langgeng . sirakabeh ora di aniyaya senajan naming sak lugut. ( ketika rasulullah belum hijrah ke Madinah segolongan sahabat yangt teraniaya mendatangi beliau, kemudian bekata: apabila kami diizini orang-orang yang mendholimi kami, akan kami perangi. Rasulullahpun kemudian berkata : kuffu aidiyakum ( jangan-jangan kalian perangi) namun setelah perang itu di wajibkan sebagian dari orang-orang tadi, kemudian takut untuk berperang seperti takutnya mereka pada Allah, malahan lebih takut. Ya Tuhan kenapa kami semua Engkau wajibkan berperang adakah Engkau beri kenikmatan bagi kami semua terlebih dahulu. Rasulpun berkata : Kenikmatan di dunia ini hanyalah sementara adapun kenikmatan di akherat itu lebih bagus dan kekal selamanya. Kalian tidak akan di aniyaya sedikitpun disana.)
Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada periode awal atau sebelum rasul hijrah memerangi kaum yang dholim itu tidak dilakukan dengan pedang atau dengan cara berperang. Memberantas kaum kafir dengan cara peperangan baru dilakukan setelah Rasul hijrah hal tersebut juga bisa tergambar dalam tafsiran Bisri Musthofa pada Qs. At-Taubah ayat 73 Bisri Musthofa menulis: “ Hai nabi! Perangana wong-wong kafir iku kanti pedang, lan perangana wong-wong munafik iku kanti dawuh-dawuh lan hujjah! Keraso sira(nabi muhammad) terhadap wong-wong kafir lan wong-wong munafik panggonane wong kafir karo wong munafik iku jahannam ala-alane panggonan bali iyo neraka jahannam itu. (hai nabi! Perangilah orang-orang kafir itu dengan pedang, dan perangilah borang-orang munafikitu dengan ucapan-ucapan atau hujjah! Bersikap keraslah kamu (muhammad) terhadap orang kafir dan orang munafik tempat bagi orang-orang kafir dan munafik itu neraka jahannam, dan merupakan tempat yang paling jelek.”
Dari paparan-paparan diatas mengenai jihad Bisri Musthofa membedakan perihal bagaimana kita harus memerangi kaum non muslim antara kafir dan munafik ada perbedaan cara untuk memeranginya. Menurut Bisri kita harus memerangi kaum kafir dengan pedang atau peperangan kemudian memerangi kaum munafik dengan ucapan-ucapan atau hujjah.
Itulah beberapa kasus penafsiran dalam al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz karya Kiai Bisri Musthofa,. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.[]











DAFTAR PUSTAKA :
• Musthofa Bisri.1959. Al- Ibriz li ma’rifati tafsiri qur’ani al-aziz. Kudus: Menara Kudus.
• Qattan Manna .2007,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
• Yazdi Misbah.2006. perlukah jihad, meluruskan paham tentang jihad dan terorisme.Jakarta:Al- Huda.

M0NGGO_MONGGO.....

tulisan yang mungkin sedang anda baca ini hanya segelumit sekedar celotehan, akan kebimbangan seorang yang masih meragukan kebanaran di dunia yang fana ini...