_Mengenal Lebih Jauh Faham Hedonisme
Dewasa ini, banyak ideologi-ideologi yang kurang baik bagi kehidupan masyarakat dan lebih berpengaruh negatif pada kehidupan sehari-hari, dan juga dapat menghilangkan identitas ataupun jati diri keimanan seseorang. Salah satu ideologi itu bernama hedonisme atau sebuah paham yang menganggap kesenangan adalah tujuan hidup seseorang agar bisa mencapai bahagia yang abadi, yang pada awalnya merupakan sebuah konsep filsafat etika. Kita bisa lihat bahwa saat ini kebanyakan orang terutama para remaja berbondong-bondong digiring untuk menjalani kehidupan yang berpangkal pada pencarian kesenangan semata,tanpa memikirkan akibat-akibat yang akan ditimbulkan, mereka lebih mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa mempehatikan keadaan sekitar.
Apa itu hedonisme?, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Secara global hedonisme berarti, bahwa,kesenangan merupakan satu-satunya tujuan pencapaian hidup yang bias memberikan manfaat atau kebaikan bagi seseorang. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala bentuk penderitaan.
Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan.
Berbicara mengenai hedonisme, kita tidak bisa lepas dari seorang filosof Yunani yang dinilai punya peranan signifikan dalam membangun epistemologi hedonisme, yaitu Epicurus of Sámos (341-270 SM). Yang prinsip-prinsip ajarannya tersebut lebih dikenal dengan sebutan Epicureanisme. Inti ajaran etika Epicurus mengatakan bahwa kebahagiaan hidup adalah kenikmatan. Kenikmatan adalah satu-satunya yang baik,awal dan tujuan hidup yang bahagia. Lantas apa arti kenikmatan itu sendiri menurut Epicurus?. Epicurus mendefinisikan kenikmatan sebagai keadaan yang negatif, yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Epicurus tidak menyangkal bahwa kenikmatan yang perlu diperoleh mencakup kenikmatan indrawi juga. Akan tetapi yang jauh lebih utama dari pada kenikmatan indrawi adalah ketenangan jiwa (ataraxia) yang diibaratkannya seperti tenangnya laut manakala tidak ada angin bertiup. Hal ini membuktikan bahwa ajaran epicurus tentang kenikmatan berbeda dengan ajaran etika Aristippos yang lebih mengutamakan kesenangan indrawi sebagai tujuan hidup.
Inti epistemologi Epicureanisme dibangun diatas tiga kriteria kebenaran:
1.Sensasi atau gambaran (aesthêsis),
aesthesis atau sensasi dimaknai sebagai pengetahuan atau ilmu yang didapat melalui perasaan dan verifikasi empiris.
2.pra-konsepsi atau prasangka (prolêpsis)
Prolepsis diartikan sebagai “kekuatan dasar” dan juga bisa didefinisikan sebagai “gagasan universal”, yaitu sebuah konsep dan cita-cita yang bisa dimengerti oleh semua orang. Contohnya, seperti kata “laki-laki” yang setiap orang memiliki pendapat yang terbentuk sebelumnya mengenai apa itu laki-laki
3.feelings atau perasaan (pathê).
perasaan (feelings) erat kaitannya dengan etika daripada dengan teori fisiknya Epicurean yang akan lebih mengkonfirmasikan kepada manusia tentang apa-apa saja yang akan memberi kesenangan dan apa-apa saja yang akan mendatangkan penderitaan.
Bagi Epicurus, kesenangan yang paling tinggi adalah kesejahteraan dan bebas dari rasa takut yang hanya bisa diperoleh dari ilmu pengetahuan persahabatan dan hidup sederhana. Ia juga mengakui adanya perasaan-perasaan akan kesenangan sederhana namun Epicurus mengartikan kesenangan sebagai sesuatu yang harus jauh dari hasrat-hasrat jasmaniah semisal seks dan hawa nafsu. Ia menguraikan, ketika kita makan, jangan sampai terlalu kenyang dan berlebihan, karena bisa menyebabkan ketidakpuasan nantinya. Dengan demikian, parahnya, Epicureanisme terjebak masuk kedalam jurang yang lain, semisal asketisisme (paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban) seperti misalnya, saya rela menderita sakit gigi bila gigi saya dicabut oleh dokter.bersamaan dengan itu saya juga rela untuk tidak melahap bakmi goreng kesenangan saya saat ini,agar saya minggu depan dapat menikmati pesta hari ulang tahun seorang teman bersama dengan teman yang lain. Dalam contoh ini seorang tersebut rela menanggung rasa sakit dan dengan sengaja menolak lezatnya bakmi goreng agar dapat menikmati pesta ulang tahun temenya.
Epicureanisme dianggap oleh beberapa kalangan sebagai bentuk hedonisme kuno. Epicurus mengidentifikasikan ‘kesenangan’ dengan ‘kesentosaan’ dan penekanan kepada reduksi hasrat berlebih terhadap perolehan spontan kesenangan. Jadi menurut Epicurus, kesenangan bukanlah sesuatu yang pada dasarnya menyenangkan, justru kesenangan adalah kondisi sejahtera. Karena menurut dia kesenangan itu relatif. Dengan demikian, Epicureanisme melepaskan diri dari proposisi yang sebelumnya: kesenangan dan ‘manfaat yang utama’ itu sejajar, Epicurus juga bependapat bahwa agar suatu kenikmatan dapat dicapai, ada dua hambatan yang perlu disingkirkan akni rasa takut kepada dewa dan rasa takut kepada kematian. Karena menurutnya kedua rasa takut itu tidak beralasan. Epicurus juga mengklaim bahwa kesenangan yang paling tinggi tercapai dari sesuatu yang sederhana, semisal kehidupan sederhana yang dijalani bersama teman-teman dan dari diskusi-diskusi filosofis. Dia menekankan bahwa, bukanlah hal baik jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat seseorang yang lain (teman) merasa baik, yang apabila dengan pengalaman perbuatan tersebut seseorang justru meremehkan pengalaman-pengalaman yang akan datang dan membuat seseorang yang lain merasa tidak lagi nyaman.
Konsep Dasar Hedonisme
Epicurus adalah tokoh kunci dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan metode ilmiah karena desakan bahwa ia tidak harus percaya kecuali apa yang telah diuji melalui pengamatan langsung dan deduksi logis. Hal yang mendasar dibalik makna hedonis mengajarkan kepada kita bahwa setiap tindakan untuk mencapai kebahagiaan hidup, bisa diukur pada seberapa banyak kesenangan dan seberapa kecil penderitaan yang bisa kita hadapi. Dalam koridor teoretis, hedonisme pun bertalian dengan sistem filsafat etika yang lainnya seperti utilitarianisme, egoisme dan permisifisme. Singkatnya, seorang hedonis akan mengarahkan segala usahanya untuk memaksimalkan ‘rasio’.
Beberapa abad setelah Epicurus, muncul tokoh bernama John Stuart Mill (1806-1873) seorang filosof utilitarianisme berkebangsaan Inggris dan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris, yang juga pendiri University College London (UCL), keduanya menetapkan beberapa prinsip fundamental hedonisme berdasarkan teori etika utilitarianisme (paham yang mengatakan bahwa manusia dalam tindakannya selalu mencari untung dan manfaat). Menurut mereka, nilai-nilai utilitarianisme merupakan sebuah pijakan dasar bagi berdirinya nilai-nilai filsafat hedonisme dalam seluruh tindakan yang mengarah kepada proses pencapaian kebahagiaan yang paling besar bagi seluruh manusia. Meskipun konsekwen dengan pencarian kebahagiaan atau kesenangan, ada sedikit perbedaan pandangan nilai-nilai hedonistik antara Bentham dengan Mill yang berkaitan dengan ekspostulat (gagasan) mengenai prinsip-prinsip tentang ‘manfaat’ itu sendiri. Sedikitnya ada dua aliran pemikiran mengenai hedonisme:
1. Aliran pertama, yang dipromotori oleh Jeremy Bentham, lebih meyakini pendekatan kuantitatif. Bentham meyakini bahwa nilai-nilai mendasar tentang sebuah kesenangan bisa dimengerti secara kuantitatif. Pada dasarnya, dia percaya bahwa nilai-nilai kesenangan bisa dipacu oleh kesenangan lain yang dipengaruhi oleh durasi waktu (intensitas). Jadi, bukan hanya jumlah kesenangan, intensitas dan seberapa lama kesenangan tersebut bisa dinikmati, juga bisa mempengaruhi ‘jumlah’.
2. Aliran yang kedua, , yang diwakili oleh John Stuart Mill, yang menganjurkan pendekatan kualitatif. Mill lebih meyakini adanya perbedaan level kesenangan, yang mana kualitas kesenangan tertingi, lebih baik dari kualitas kesenangan yang lebih rendah. Mill juga berpendapat bahwa, makhluk rendahan semisal babi, punya jalan termudah untuk memperoleh kesenangan yang sederhana selama mereka tidak disibukkan oleh segmen kehidupan yang lain, mereka bisa dengan mudah menuruti kesenangan mereka tersebut.
Sedangkan makhluk yang lebih kompleks terbentur predisposisi (kecenderungan) untuk memusatkan perhatiannya kepada persoalan yang lain (dalam kehidupan), oleh karena itu, memperoleh waktu yang sedikit untuk kesenangan. Maka dengan demikian, mereka akan menemukan kesulitan untuk menikmati ‘kesenangan yang sederhana’ yang dilakukan oleh simpler beings, dengan jalan dan cara yang sama.
Namun dari semua itu ada beberapa permasalahan yang muncul diantaranya, yaitu:
pertama, pada umumnya, setiap kesenangan tidak memiliki kesamaan sifat atau ciri, meskipun fakta mengatakan bahwa ‘kesenangan’ tersebut bisa dilihat sebagai ’sesuatu yang menyenangkan’ (pleasurable). Lagipula, standar yang berlaku untuk sesuatu yang dikatakan ‘menyenangkan’ bermacam-macam. Semisal sadisme, yang sebagian orang menganggap sebagai sebuah kesenangan dan sebuah hobi yang bisa memuaskan hati. Sejatinya, pendekatan kuantitatif dan kualitatif harus diposisikan dan dipandang sebagai dua pendekatan yang komplementer.
Kedua, seseorang akan merasa keberatan, jika ketika seseorang yang lain mendapatkan kesenangan mungkin yang lain akan merasakan penderitaan, yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi mengenai tindakan moral. Hal ini menjadi kontradiksi jika kita melihat dari perspektif absolutisitas moral. Sementara dari sudut pandang relativitas moral, tidak akan pernah terjadi kontradiksi.
Dua persoalan inilah, yang dicap oleh filosof Henry Sidgwick dalam bukunya ‘The Method of Ethics’ (1963) sebagai ‘paradox of hedonism’.
Selasa, 06 Januari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)
M0NGGO_MONGGO.....
tulisan yang mungkin sedang anda baca ini hanya segelumit sekedar celotehan, akan kebimbangan seorang yang masih meragukan kebanaran di dunia yang fana ini...